Sering aku mengeluh karena
masalah yang ada dalam hidupku. Masalah sepele sebenarnya, tapi karena
kebiasaan buruk itu sudah seperti mengurat dalam diriku, tak ayal keluhan itu
keluar dengan sendirinya dan seketika itu aku langsung menyesalinya karena
telah mengungkapkannya. Anehnya, sesering itu aku menyesal, sesering itu pula
aku mengulanginya. Sebagai contoh adalah rutinitas kuliah dan seabrek
tugas-tugasnya yang membuatku penat dan penat itu semakin menjadi-jadi ketika
aku berada ditengah hiruk pikuk kelas yang kadang aku tak mengerti apa yang
dibicarakan didalamnya.
Bagiku hal yang paling membuatku
penat dan sering mengeluh adalah tugas-tugas kuliah. Bukan karena kuantitasnya,
tapi lebih karena jenisnya. Ketika tugas itu adalah tugas individu, aku bisa
menekan keluhan sampai batas minimum yang bisa kutahan karena baik keuntungan
maupun kerugian dari pengerjaan tugas itu 100% aku yang menanggungnya. Tapi
ketika tugas itu adalah tugas kelompok seketika aku langsung merasa tertekan karenanya,
terlebih jika anggota kelompokku adalah orang-orang yang kuanggap tidak bisa
diandalkan. Inilah kesalahan terbesarku. Tak seharusnya aku underestimate pada
seseorang terutama pada orang-orang yang akan menjadi rekanku dalam
menyelesaikan tugas. Rasa kurang percaya pada orang lain membuatku seringkali
menjadikan tugas kelompok sebagai tugas individu atau minimal aku mengambil
alih masalah yang paling sulit untuk diselesaikan sebagai tugasku dan hal
inilah yang berujung pada pengeluhan. Tapi sering juga anggota kelompokku
memang orang-orang yang cukup acuh terhadap masalah tugas, sehingga lagi-lagi
aku terpaksa menyelesaikan tugas tersebut sendiri. Inilah keadaan yag paling
membuatku berat hati.
Seringkali ku hibur hatiku dengan
berpikir “Anggap saja ini tugas individu” atau “sudahlah, mungkin mereka sibuk
dan ada hal yang harus lebih di prioritaskan” atau “tenang aja, tugas itu tidak
sampai 1/10 dari hidup”. sayangnya yang keluar dari mulutku bukanlah seperti
yang aku pikirkan. “mereka tu kuliah, jadi harusnya masalah kuliah lebih
diprioritaskan”, “ngeselin banget, diminta konfirmasi jarkom aja ga dibales,
apalagi suruh ngerjain tugas?”, “mereka bilang : aku sibuk malam ini,
trus?mereka pikir aku ga sibuk?”, “kamu sih enak kelompokmu ini dan ini, mereka
orangnya aktif dan solutif, nah aku?pas diajak ngumpul aja mereka ga mau, giliran
tugas udah jadi, komennya seabrek, ngeselin banget ga sih?”, bahkan “seandainya
kelompokku bukan mereka”, “ seandainya mereka mau sedikit aja peduli pada tugas
ini”, dan banyak lainnya yang yang sering kuungkapkan.
Sampai pada suatu saat ku lihat
dua orang temanku yang berbeda, satu pengeluh dan satu tipe pasrah. Saat si
pengeluh mengeluh dengan dengan dahsyatnya, aku merasa risih dan berpikir
“apaan sih ni orang, gitu aj ngeluh” dan seketika aku langsung teringat akan
diriku, mungkin hal ini juga yang dipikirkan orang-orang disekitarku ketika aku
mengeluh. Astaghfirullah, aku langsung sangat malu mengingat kebiasaan
mengeluhku dan kuingat :
“Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Talaq : 7)
“Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, sesungghnya sesudah kesulitan ada kemdahan.” (Al-Insyirah
: 5-6)
“Besungguh-sungguhlah dalam
menuntut apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan pada Allah (dalam
segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu
ditimpa suatu kegagalan, janganlah kamu berkata, ‘seandainya aku berbuat
demikian, tentu tidak akan begina tau begitu,’ tetapi katakanlah, ‘ini telah
ditakdirkan oleh Allah, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki’, karena
ucapan ‘seandainya’ akan menbuka (pintu) perbuatan setan”.(shahih Muslim)
Kulihat satu temanku yang lain,
dengan sabarnya mengerjakan tugas kelompok sendirian dan kutanya “kok kamu bisa
sih segitu enjoynya ngerjain tugas itu sendirian tanpa mnegeluh?”, dia menjawab
“aku harus negeluh kesiapa?dan apa gunanya aku ngeluh?toh tugasku ga akan selesai
hanya dengan mengeluh?ya sudahlah selama aku bisa, kenapa aku harus nunggu
sesuatu yang ga pasti?”. Benar-benar satu kasus yang sama tapi dengan perspektif
yang berbeda dalam menyikapinya membuatku semakin malu mengingat diriku,
mengingatku yang dalam konteks ini sedikit banyak telah mengingkari qadar Allah
atas diriku.
“Sesungguhnya, pertama-tama
yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman : ‘Tulislah!’
Maka ditulislah pada saat itu apa yang terjadi sampai hari kiamat.” (Riwayat
Imam Ahmad)
“Seandainya kamu menginfakkan
emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu sehingga kamu
beriman kepada qadar, dan kamu meyakini apa yag telah ditakdirkan mengenai
dirimu, pasti tidak akan meleset dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai
dirimu, pasti tidak akan menimpamu. Sedang kalau kamu mati tidak dalam
keyakinan ini, pasti kamu akan menjadi penghuni neraka.” (Riwayat dalam Musnad
dan Sunan)
Na’udzubillahimindzalik, semoga
aku tak termasuk dalam golongan ini. Oleh karena itu, aku harus berubah untuk
tidak menjadi pribadi yang pengeluh lagi.